text

WELCOME TO MY BLOG AND ENJOY IT ^^

Thursday, 17 January 2013

Code Mixing



Analisis Code Mixing Dalam Novel Fat Bulous

  1. Pendahuluan
a.       Latar belakang
Kajian mengenai bahasa menjadi suatu kajian yang tidak pernah habis untuk dibicarakan. Bagi bahasa hidup, yaitu bahasa yang masih terus digunakan dan berkembang, persentuhannya dengan bahasa-bahasa lain menimbulkan permasalahan tersendiri. Di satu sisi, persentuhan itu menambah khasanah bahasa itu sendiri. Namun, di sisi lain justru mengancam keberadaan bahasa tersebut.
Globalisasi, suka tidak suka, memberi efek yang membahayakan bagi perkembangan bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Masuknya budaya-budaya asing perlahan-lahan mendesak esksistensi bahasa Indonesia. Maraknya tayangan berbahasa Inggris hingga serbuan para investor asing menyebabkan penggunaan bahasa Inggris semakin menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat. Tayangan-tayangan berbahasa Inggris, penggunaan nama dengan bahasa Inggris, hingga standar perusahaan-perusahaan, baik nasional maupun multinasional, mendesak setiap orang untuk dapat berbahasa Inggris.
Dalam kondisi yang demikian, bahasa Indonesia semakin terdesak. Di satu sisi bahasa Indonesia memiliki masalahnya sendiri termasuk masalah tata bahasa. Namun, di sisi lain, bahasa Indonesia yang dulu sering dipertentangkan dengan bahasa daerah, kini harus berhadapan lagi dengan bahasa-bahasa asing.
Sekarang ini bahasa Indonesia sudah semakin memperihatinkan, buktinya mulai dari anak sekolah dasar sampai orang dewasa sudah jarang sekali yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah ataupun bahasa Inggris. Tidak hanya dalam komunikasi sehari-hari tetapi dalam media cetak atau media elektronik pun banyak yang sudah mencampuradukkan bahasa. Seperti pada majalah, internet, televisi dan radio. Bahkan didalam karya sastra yang mungkin seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik pun ikut menggunakan campur kode. Seperti pada novel dan puisi. Penggunaan campur kode pada media elektronik, media cetak dan karya sastra dapat mempengaruhi menurunnya tingkat penggunaan bahasa Indonesia yang baik, masyarakat akan meniru apa yang mereka lihat dan dengar dari media. Hal ini dapat berakibat buruk, apalagi anak remaja sekarang lebih memilih bahasa gaul atau bahasa yang menggunakan campur kode dengan bahasa Inggris. Hal ini disebabkan karena sudah banyak tayangan televisi, majalah dan novel remaja yang menggunakan campur kode didalamnya. Pencampuradukan bahasa atau kode sendiri dikenal dengan nama Code mixing.

b.      Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui penggunaan code mixing di dalam media cetak atau karya sastra khususnya novel.

  1. Teori
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional; varian kelas social; varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa dan varian kegunaan atau register (Henscyber: 2009).
Campur kode adalah penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalah satu wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas (Alo Liliweri: 2002). Campur kode terjadi pada masyarakat yang bilingulisme, seperti masyarakat Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya masing-masing dan ada juga yang menggunakan bahasa Inggris.
Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotomian sebagai sebuah kode. (Abdul Chaer dan Leoni Agustina: 2010) misalnya seorang penutur, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan ( kalau bahasa daerahnya adalah bahasa sunda ) atau bahasa Indonesia kebatak-batakan ( kalau bahasa daerahnya adalah bahasa batak ).
Thelander (dalam Chaer: 2010) … tetapi apabila didalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.
Latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu: tipe yang berlatar belakang pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan (linguistics type) (Suwito: 1983). Kedua tipe ini saling bergantung satu sama lain.
Campur kode dibagi menjadi dua yaitu, campur kode dengan unsur-unsur golongan yang disebut campur kode kedalam (inner code-mixing) dan campur kode yang unsur-unsurnya dari golongan disebut campur kode keluar (outer code-mixing) (Suwito: 1983). Campur kode kedalam adalah seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa variasi (bahasa daerah) kedalam bahasa aslinya ( bahasa Indonesia), unsur-unsur dialeknya kedalam bahsa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya kedalam dialeknya; sedangkan campur kode keluar apabila penutur yang dalam bahasa Indonesianya tersisipi unsur-unsur bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.
 Berikut adalah beberapa wujud campur kode (Suwito: 1983) :
a.       Penyisipan kata
b.      Penyisipan frasa
c.       Penyisipan klausa
d.      Penyisipan ungkapan atau idiom
e.       Penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing)

  1. Analisis
Code mixing terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain. Dalam paper ini saya akan mengulas tentang penggunaan campur kode dalam novel Fat Bulous Cintaku Sebesar Badanku karya Fitriwida.
Novel Fat Bulous Sebesar Badanku berisi tentang seorang wanita yang berbadan gemuk yang berusaha untuk mencari seseorang yang dapat mencintai dan menyayangi dirinya apa adanya. Melihat teman-temannya sudah mempunyai pacar, maka dia ingin sekali mempunyai seorang kekasih. Pada akhirnya si tokoh utama mendapatkan kekasih yang sangat baik kepada dirinya.
Novel ini adalah novel untuk anak remaja, hal ini karena tokoh-tokoh pada novel ini adalah mahasiswa. Karena remaja identik dengan penggunaan bahasa yang tidak baku, maka tokoh melakukan komunikasi dengan bahasa tidak baku, seperti: “hati-hati, ya, Bang. Nggak pake ngebut.” (hlm. 2). Kata “nggak pake” adalah kata-kata yang tidak baku.
Seseorang yang menguasai bahasa asing selain bahasa Indonesia akan merasa bangga. Mereka berpikir kalau berbicara tidak diselingi bahasa asing tidak keren atau tidak dianggap kaum intelektual. Seperti tokoh dalam novel ini, tokoh menguasai bahasa Cina dan Inggris. “Wode Tian a! Udah gila, ya, lo? Udah hampir telat, masi pake sandal? … Segera kutukar sandal jepitku dengan sneaker.” (hlm. 17) atau “Hao ba, gue tunggu dikantin, ya. Laper banget, nih.” (hlm. 168) Tokoh menggunakan bahasa Cina dan bahasa Inggris dengan tujuan ingin menunjukkan kelas sosial tokoh yang tinggi.
Bagi seseorang yang menguasai bahasa Inggris, seperti tokoh pada novel Fat Bulous Cintaku Sebesar Badanku. Mereka akan lebih sering menggunakan kata-kata atau kalimat dalam bahasa Inggris , seperti contoh kata atau kalimat yang digunakan: t-shirt, inner beauty, cleaning service, piece of cake, catwalk, rejected, nice, secret admirer, macho, pathetic, escalator, stupid, clubbing, high-heels, player, delivery, bitchy, please, don’t judge the book from its cover, it’s not bad for beginner, why am I so stupid, dll.
Situasi informal atau situasi santai biasanya memungkinkan penutur menggunakan campur kode. Seperti berbicara dengan teman atau bergosip. Dalam novel contohnya seperti dalam kalimat, “Ortu lo, kan, pengusaha restoran terkenal di Yogya. Masa, sih, gopek ja segitu berharganya buat elo?” (hlm. 35)
Ada pula faktor kebiasaan, faktor kebiasaan dapat terjadi karena penutur lebih dahulu mengenal kata pada bahasa serapan yang digunakan daripada kata dalam bahasa Indonesia. Seperti contoh kalimat berikut yang terdapat pada novel, “Flo! Gue cariin kemana-mana, ternyata lo udah di sini. Kok, ga bales SMS gue, sih?” (hlm. 145) dan dalam kalimat, “Evan sama sekali tidak menanyakan nomor handphone Friska.” (hlm. 193). Kata SMS dan handphone lebih dikenal dari pada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Campur kode terjadi karena adanya topik pembicaraan yang menyangkut bidang atau hal tertentu. Seperti kalimat pada novel, “Ka, temeni gue kesalon, ya. Mau creambath sama rebonding ni.” (hlm. 92). Kata crembath dan rebonding adalah kosa kata yang berhubungan dengan salon. Selain itu ada pula kosa kata yang berhubungan dengan make-up seperti eye shadows, eyeliner, mascara, blush on, lip gloss and lip stick.
Penggunaan campur kode juga disebabkan karena ketidak adaan padanan kosa kata serapan bahasa asing dalam bahasa Indonesia. Seperti kata jeans pada kalimat “aku membongkar lemari pakainku, mencari rok dan blus yang tak pernah tersentuh diantara tumpukan T-shirt, kemeja dan celana jeans.”

  1. Kesimpulan
Campur kode sudah sangat mewabah dalam kehidupan dan bahasa Indonesia pun perlahan-lahan seperti ditinggalkan. Hal ini dapat dilihat dari maraknya pengunaan campur kode pada media elektronik atau pun media cetak. Campur kode pun di gunakan di dalam novel, padahal novel adalah karya sastra yang mungkin seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Campur kode bukanlah kebiasaan yang turut melestarikan bahasa Indonesia. Meski campur kode sangat tidak disarankan, dalam kasus-kasus tertentu, campur kode tidak dapat dihindari. Syaratnya hanya bila kata asing tersebut tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia.
Secara umum, ada beberapa faktor penggunaan campur kode, berupa faktor karakteristik penutur (latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan), berupa kesantaian atau situasi informal dan keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain.

Daftar pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Liliweri, alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. (online),  (http://books.google.co.id/books?id=U-1ckHCx7nYC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false. Diakses 15 november 2012)
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset Solo.